Sejarah Lengkap Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja)
Oleh Lismanto, SHI
Penulis Buku Hukum Islam Progresif (2014)
Sejarah lengkap Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ini saya
tulis saat diminta salah satu organanisasi mahasiswa Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Walisongo. Dalam tulisan singkat ini, saya
juga membuat semacam "roadmap" sejarah Ahlussunnah wal Jamaah agar mudah
dipahami dan dimengerti terkait dengan sejarah Ahlussunnah wal Jamaah
dari masa ke masa hingga masuk ke Indonesia. Berawal dari sini, saya
menciptakan gagasan dan formula istilah periodesasi sejarah Ahlussunnah
wal Jamaah dengan bahasa dan pemahaman saya sendiri. Tujuannya tak lain
agar mudah dimengerti.
Sebetulnya, saya ingin judul artikel kolom ini dengan Roadmap Sejarah Ahlussunnah wal Jamaah.
Namun, pemimpin redaksi Islam Cendekia lebih menyukai judul sejarah
lengkap Ahlussunnah wal Jamaah (aswaja) agar mudah dicari di penelusuran
situs pencari.
Ilustrasi NU sebagai organisasi Islam berbasis Aswaja di Indonesia |
Membincang soal Ahlussunnah wal Jama'ah (selanjutnya disebut Aswaja),
kita tidak bisa lepas dari sejarah panjang di mana sejarah ini akan
membentuk sebuah peta kesejarahan Aswaja apabila dilihat dari berbagai
perspektif. Untuk itu, saya perlu membuat sebuah roadmap sejarah Aswaja
agar labirin Aswaja dari zaman ke zaman mudah dibongkar dan disuguhkan
dalam sebuah teks yang mudah dipahami bersama. Sebelum membahas soal
peta kesejarahan Aswaja, lebih baiknya kita mengerti pengertian Aswaja
secara tekstual-harfiah-skriptural.
Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) adalah Ahlussunnah
berarti ahli sunnah atau pengikut ajaran sunnah Nabi Muhammad. Sementara
itu, Jama’ah yang dimaksud merujuk pada jama’ahnya Nabi Muhammad yang
tak lain adalah para sahabat dan generasi selanjutnya seperti tabi’in,
tabi’ut tabi’in, termasuk imam empat madzab (ada yang mengklasifikasikan
sebagai tabi’in dan ada juga yang mengklasifikasikan sebagai tabi’ut
tabi’in) atau salafush shalih, hingga generasi berikutnya yang punya
ikatan madzab dengan generasi salafush shalih.
Setelah tahu arti atau makna Aswaja dalam perspektif bahasa, sekarang
coba kita bedah historisitas Aswaja dari zaman ke zaman untuk mengetahui
titik terang bagaimana sebetulnya Aswaja terbentuk hingga menjadi salah
satu madzab yang menjadi rebutan para kelompok Islam di dunia. Banyak
organisasi Islam bermunculan yang kemudian masing-masing mengklaim bahwa
merekalah penganut Aswaja.
Saya garis besar saya akan membagi historisitas Aswaja ke dalam tiga
fase besar. Pertama, fase teologis. Kedua, fase sosial-politik. Ketiga,
fase madzab. Fase madzab juga berarti fase aliran atau ideologi. Ini
hanya ijtihad dan formula ilmiah kesejarahan yang saya buat secara
pribadi, tidak merujuk dari buku atau kitab mana pun sehingga Anda boleh
setuju atau tidak. Yang jelas, klasifikasi fase Aswaja ini saya buat
untuk memudahkan pemahaman terhadap roadmap sejarah Aswaja.
Aswaja pada fase teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase
teologi substantif dan fase teologi formal. Pada fase teologi
substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul
pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di mana umat
manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian
dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi,
umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih
dahulu diajarkan oleh Nabi.
Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak
muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti
ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal
muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”, tetapi umat manusia sudah
diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara
substantif berarti “ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang
yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja.
Oleh karena itu, saya lebih suka menamai fase ini dengan fase teologi
substantif.
Selanjutnya adalah fase teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi
Muhammad menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada umatnya bahwa
umat Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya akan
masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi
Muhammad dan sahabat. Hadis ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin
digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja. Bunyi hadisnya
adalah “Ma'ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya harfiahnya adalah
“Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”
Kenapa saya namankan fase teologi formal? Sebab, Nabi sudah mengumumkan
Aswaja sebagai aliran Islam yang akan selamat secara formal-resmi kepada
umatnya. Meskipun demikian, kata “ahlussunnah wal jama’ah” sama sekali
tidak disinggung dalam peristiwa ini, sehingga hanya sebagai basis
ajaran atau teologi saja. Dengan alasan ini, saya lebih suka menamakan
peristiwa ini sebagai fase teologi formal dalam lintasan historisitas
Aswaja.
Selanjutnya, kita coba bahas sejarah Aswaja pada fase sosial-politik.
Peristiwa ini muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad wafat hingga dalam
periode tertentu muncul ulama besar bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H -
324H, 64 tahun), tokoh Muktazilah yang kemudian keluar dan mendirikan
madzab baru dengan semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”. Pengikut madzab
ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Seiring populernya ajaran ini,
Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada
abad 11-12 Masehi, sehingga pemahaman ini mudah menyebar ke berbagai
wilayah, termasuk India, Pakistan, Afghanistan, sampai ke Indonesia.
Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat
“ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian
pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara
formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali
semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah
derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang
banyak membingungkan umat Muslim.
Kita kembali kepada sejarah setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga
munculnya aliran formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan
dipopulerkan kembali oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi
Muhammad Saw wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang
dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih
sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi
Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya,
sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin.
Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar
Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui
ajaran tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh
Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar
demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah
kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak
menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis
yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul
yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali
dan Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi
Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah
yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir
istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah
mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada di ujung tombok sebagai
tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim
dikenal dengan Khawarij. Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang
berarti keluar. Dari sini, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga,
yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir
hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian keluar pasca-peristiwa
tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak membela Ali maupun Muawiyah
karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan hukum Allah atau Al
Quran), dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang
muncul adalah tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan
tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari yang berlatar tokoh
agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh
politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama,
Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama Jabariyah yang
mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah.
Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah. Aliran
Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan Muawiyah. Dunia
politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang mendukung
dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja. Ini
hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang
ini yang mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran
Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari
tangan Ali, karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah
ditakdirkan oleh Allah. Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu
Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah).
Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut aliran Jabariyah.
Salah satu dalil dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah adalah “Wamaa
ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمىArtinya: “Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak
orang-orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang ia lakukan
adalah kehendak Allah. Pun, pengemis banyak bermunculan akibat doktrin
aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai goyah. Banyak orang yang
sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan bekerja karena yakin
bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam istilah modern
dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara politis
digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui
tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk
kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang
kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran Qodariyah mengajarkan kepada
umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas
setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut campur
dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk
melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan
kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian meresahkan umat. Pencuri pun
akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan adalah kehendak Allah. Dari sini
aliran Jabariyah mulai luntur seiring runtuhnya kekhalifahan Muawiyah
(Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan Dinasti Abassiyah. Pada
pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi aliran
paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan
pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu
Dinasti Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi
negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami
metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika
dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya menjadikan
ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana setiap warga wajib
menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran (manhajul fikr)
umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap
warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya
pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau
aliran baru dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.” Ulama
tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari. Al Asy’ari menyatakan netral,
bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah,
tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi
Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah.
Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism
yang menganut kepada takdir. Sementara, Qodariyah adalah bertolak
belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya kehendak dan berlanjut
dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak sepenuhnya (free
will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda dengan
ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi
dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
Dalam hal ini, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga
mempelopori aliran bernama Al Maturidiyah yang juga dengan semangat “maa
anna alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak
Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu,
ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah
kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam
Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Maliki.
Imam Hambali menjadi korban atas doktrin Mu’tazilah hingga imam Hambali
dipenjara dan dihukum oleh dua khalifah berturut-turut (al Ma’mun dan al
Mu’tasim) dalam pemerintahan Abbasiyah. Sementara itu, ulama Aswaja di
bidang tasawuf yang dikenal pertama kali adalah Imam al Gazali dan Imam
Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja pada fase sosial-politik.
Seiring berkembangnya ajaran Aswaja sebagai aliran pemikiran yang dirasa
mampu mengakomodasi kepentingan ibadah-rohaniyah umat Muslim, Islam
Aswaja atau orang juga populer menyebutnya Sunni berkembang pesat hingga
ke berbagai penjuru dunia di mana masing-masing kelompok Islam
menggunakan ideologi Aswaja. Salah satu kelompok atau perkumpulan Islam
yang menganut Aswaja sebagai ideologi dan metode berpikir (manhaj
al-fikr). Fase ini kemudian disebut dengan fase ideologi. Pada fase ini,
Aswaja menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit dan
manhaj al fikr bagi perkumpulan atau organisasi keislaman. Dalam fase
ini pula, banyak organisasi yang kemudian saling klaim bahwa dirinya
adalah organisasi Islam bermadzab Aswaja.
Hadirnya para penyebar agama Islam di Nusantara seperti Walisongo
memberikan warna bagi tumbuh suburnya aliran Aswaja di Indonesia.
Walisongo menyebarkan Islam dengan cara damai, akomodatif, moderat,
toleran dan berpegang pada mengambil maslahat dan menolak kemudaratan
sebagai konsep yang dibawa oleh para ulama pendahulu yang mengusung
Aswaja. Spekulasi saya, cara Walisongo dalam menyebarkan Islam di
Nusantara juga berpedoman pada Aswaja.
Di Indonesia, tokoh yang digadang-gadang sebagai Bapak Aswaja Indonesia
boleh jadi adalah KH Hasyim Asy’ari yang merupakan founding father
pesantren Tebu Ireng, pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada
abad 20 an. Kenapa saya katakan Bapak Aswaja? Sebab Hasyim Asy’ari lah
yang merumuskan secara formal bagaimana organisasi Islam yang ia bentuk
(Nahdlatul Ulama) harus menggunakan aliran Aswaja sebagai manhajul fikr.
Bersama dengan ulama penting lainnya, Hasyim Asy’ari membentuk
organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 dengan
Aswaja sebagai landasan dan manhajul fikr-nya. Begini kutipannya,
“Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada
salah satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris
Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam
Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan
kemaslahatan agama Islam.”
NU secara eksplisit menjelaskan bahwa tujuan awal dibentuknya NU adalah
untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah dan
melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Aswaja juga
menjadi landasan atas semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU.
Bukan hanya landasan dalam kehidupan beragama, tetapi menjadi landasan
moral di setiap kehidupan sosial-politik NU.
Bertolak dari sini, ada beberapa prinsip yang menjadi landasan dalam
kehidupan kemasyarakatan NU (hasil dari ijtihad KH Akil Siraj) yaitu
tawasuth (moderat, sikap tengah-tengah, sedang, tidak ekstrim kiri atau
ekstrim kanan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang dalam segala hal,
termasuk dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli), dan Amar ma’ruf
nahi munkar. Demikian sejarah lengkap Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang bisa dijadikan sebagai acuan dan referensi akademik, namun harus mencantumkan sumber dan nama penulis. []
Sumber:http://www.islamcendekia.com/2014/09/sejarah-lengkap-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja.html
0 komentar:
Posting Komentar