Tokoh – tokoh Ulama’ Ahlussunnah dan Aqidah-aqidahnya
Sebagian
Ulama’ Ahli Hadist mengatakan bahwa kami menemukan banyak masyayeh
salaf yang merupakan panutan ulama’ kholaf dalam masalah Aqidah dan
merupakan teladan dalam hadist – hadist yang dipergunakan ( terpakai ),
telah menulis Aqidah – aqidahnya mereka yang merupakan kandungan sunnah
sunnah rosululloh SAW yang mesti dijadikan pegangan. Hal itu terjadi
manakala pemikiran bid’ah merata di bumi ini, danbanyaknya propaganda
sesat yang membingungkan umat. Maka pada saat itulah, sangat diperlukan
ulama’ untuk mengungkap dan menjelaskan aqidah – aqidah yang telah
dikukuhi oleh salafus sholeh supaya “ generasi kholaf “ mendapat
petunjuk jalan kebenaran para “generasi salaf “, diantaranya adalah :
1. Imam abu abdillah sufyan bin said bin masruq ast tsauri (wafat : 161 H.)8)
aqidah dan madzhab sunnahnya telah dinampakan dan “diimlakan” pada abu sholeh syuaib bin harb al baghdadi (wafat : 197 H.)9)
2. Imam Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah Al-Hilali.
Beliau
telah membeberkan aqidah – aqidahnya ketika ditanya soal itu,
sebagaimana telah diriwayatkan oleh abu abdillah muhammad bin ishaq ats –
tsaqofi (wafat : 236 H.)10)
3. Imam Abu Amr Abdurrohman bin Amr Al – Auza’i.
Imam
daerah syam ang telah menampakan aqidah – aqidahnya pada saat bid’ah
telah merebak. Hal ini telah diriwayatkan oleh ibrohim bin muhammad bin
abdilah bin ishaq al – fazari (wafat : 250 H.)11)
4. Imam Abu Abdirrohman ibn Mubaraok, imam daerah Khurasan.
6. Imam Waqi’ bin Jarrah.
7. Imam Yusuf bin Asbat.
8. Imam Suraik bin Abdillah an-Nakha’i.
9. Imam Abu Said Yahya bin Said al-Qaththan (wafat; 197). 13)
10. Imam Abu Ishaq al-Fazazi.
11. Imam Abu Abdillah Malik bin Anas al-Asbihani al-Madani, Imam “Dar al-Hijrah wa Faqih al-Haromain” (wafat: 79 H).14)
12. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I al-Muttholibi. Sayyidul fuqaha’ fi zamanihi.
13. Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam.
14. Imam Abu Hasan Nadlr bin Syummail an-Nahwi al-Bisri (wafat; 203H).15)
15. Imam Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi al-Mishri. Murid Imam Syafi’I (wafat;232 H), telah menampakkan aqidah “keqadiman al-Qur’an” pada saat terjadi fitnah kubro dari kekhalifahan al-Ma’mun.16)
16. Imam
Abu Abdillah Ahmad bin Hambal. Telah menampakkan aqidahnya, mengajak
umat menetapinya, serta tabah menghadapi siksaan demi memegang “al-Qur’an Qadim”.
17. Imam Abu Abdirrahman Zahir bin Nu’aim al-Baby as-Sijistani. (wafat pada masa Kholifah al-Ma’mun). 17)
18. Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya as-Saaji. 18)
19. Imam Abu Raja’ Quthaibah bin Sa’id ats-Tsaqafi al-Baghdadi. Rawi terakhir yang meriwayatkan hadits dari Abu Abbas Muhammad bin Ishaq as-Sarraj (wafat; 240 H). 19)
20. Imam Husain bin Abdirrahman al-Ihtiyathi. Tentang aqidahnya, telah diriwayatkan oleh Ahmad bin Musa al-Bishri. 20)
Merekalah diantara ulama’ as-Sunnah as-Salaf yang
telah menampakkan aqidah-aqidah Ahlussunnah yang merupakan panutan bagi
generasi kholaf. Dan sebagai ringkasan aqidahnya adalah:
إن
مذهبنا ومذهب أئمتنا من أهل الأثر أن نقول: إن اللـه عز وجل أحد لا شريك
لـه ولا ضد لـه ولا ند لـه ولا شبيه لـه إلـها واحدا أحدا صمدا لم يتخذ
صاحبة ولا ولدا ولم يشرك في حكمه أحدا إلخ ونؤمن بصفاته أنه كما وصف نفسه
في كتابه المنزل الذي لا يأتيه الباطل من بين ولا من خلفه تنزيل من حكيم
حميد، ونؤمن بما ثبت عن رسول اللـه من صفاته جل جلالـه بنقل العدول والأسانيد المتصلة التي اجتمع عليها أهل المعرفة بنقل أنها صحيحة ثابتة عن نبي اللـه ونطلقها بألفاظها كما أطلقها، وتعتقد عليها ضمائرنا بصدق وإخلاص أنها كما قال
ولا نكيف صفات اللـه عز وجل، ولا نفسرها تفسير أهل التكييف والتشبيه ولا
نضرب لـها الأمثال، بل نتلقاها بحسن القبول تصديقا، ونطلق ألفاظها تصريحا
كما قال اللـه عز وجل في كتابه، وكما قال رسول اللـه .
ونقول
إن صفات اللـه عز وجل كلـها غير مخلوقة ليس من كلامه وعلمه وصفاته شيء
مخلوق، جل اللـه تعالى عن صفات المخلوقين. والكيف عن صفات اللـه مرفوع.
ونقول كما قال السلف من أهل العلم الزهري وغيره على اللـه البيان وعلى رسول
اللـه البلاغ، وعلينا التسليم، ونؤدي أحاديث رسول اللـه e كما سمعنا، ولا نقول في صفات اللـه كما قالت الجهمية والمعطلة، بل نثبت صفات اللـه تعالى بإيمان وتصديق.
Sesungguhnya madzhab kita dan madzhab imam-imam kita, ahlul hadits, hendaklah kita meyakini ”Bahwasanya Allah SWT dzat
yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menedingi-Nya,
tidak ada yang setara dengan-Nya dan tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Tuhan yang Maha Esa, dzat yang segala sesuatu bergantung pada-Nya, tidak
berteman, tidak beranak dan diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang
menyekutukan dalam kekuasaan-Nya”.
Kita
haruslah mengimani semua sifat-sifat Allah SWT sebagaimana yang
disifatkan-Nya dalam kitab-Nya yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad
SAW, yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana
lagi Maha Terpuji.
Dan kita juga harus mengimani semua sifat-sifat Allah SWT yang telah ditetapkan dari Nabi Muhammad SAW, dengan penukilan rawi-rawi yang adil dan sanad yang muttasil yang telah disepakati oleh ahlul ma’rifati al-‘ilmu an-naqli
bahwa hadits tersebut benar-benar Shahih dan ditetapkan oleh Nabi
Muhammad SAW. maka kita hendaklah mengatakan (hadits ini) sebagaimana
Nabi bersabda, dan hati kita hengaklah meyakini dengan tasdiq dan ikhlas
bahwa hadits tersebut adalah sebagaimana yang telah disabdakan Nabi
SAW.
Kita tidak usah merinci (menelaah hakikatnya) sifat-sifat Allah SWT, tidak usah menafsirinya seperti penafsiran ahlut takyif dan tasybih, serta
tidak membuat perumpamaan / misal pada sifat-sifat Allah tsb. Tetapi,
kita hendaknya menerimanya dengan tashdiq, serta mengucapkan lafadz-lafadznya dengan
sharih sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT dalam kitab-Nya dan
disabdakan Nabi Muhammad SAW dalam Hadisnya. Kita hendaknya mengatakan
dan meyakini bahwa sifat-sifat Allah SWT semuanya tidaklah makhluk.
Tidak ada sesuatupun dari sifat kalam-Nya, ilmu-Nya dan sifat-sifat-Nya yang lain yang makhluk. Maha Agung Allah dari sifat-sifat makhluk. Tidak ada penggambaran (takyif) dalam sifat-sifat Allah SWT.
Kita hendaklah mengatakan / meyakini sebagaimana yang telah dikatakan / diyakini imam-imam salaf ahlil hadits
bahwasanya wajib pada Allah memberi / menurunkan kitab suci berisi
firman-firman-Nya dan wajib bagi para Rasul dan Rasulullah SAW hanyalah
menyampaikan (al-Balagh), sedangkan kita wajib menerimanya (taslim). Kita
hendaknya menyampaikan hadits Rasulullah SAW sebagaimana yang kita
dengar, dan kita tidak mengatakan dalam sifat-sifat Allah sebagaimana
yang dikatakan oleh orang-orang Jahmiyyah, Mu’ath-thilah (menafikan sifat-sifat-Nya). Tetapi, kita haruslah menetapkan sifat-sifat Allah SWT dengan mengimani dan membenarkannya.
Demikian aqidah-aqidah para salafus sholeh ahlil hadits yang
telah diperjuangkan oleh Imam Ahmad bin Hambal tatkala berhadapan
dengan kaum Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Allah SWT. Mu’tazilah,
sebagaimana keterangan diatas dengan menyalahartikan ayat “laisa kamitslihi syai-un”, telah menentang dan melemahkan “ahaditsus sifat”, serta menta’wil ayat-ayat yang menurut mereka menimbulkan tasybih dengan suatu penta’wilan yang cocok dengan rasio dan selera mereka. sehingga mereka menolak hadits yang menerangkan tentang “yadullah, ‘izzatullah”, dan lain-lain. Bahkan dengan logika filsafatnya, mereka mempropagandakan “al-Qur’an makhluk”. Untuk itulah Imam Ahmad bin Hambal bangkit membentangkan pada dunia tentang aqidah-aqidah yang telah dikukuhi oleh salafus sholeh, serta menjauhi ta’wil semaksimal mungkin. Doktrin yang selalu beliau tekankan pada umat adalah:
نؤمن
بما ورد به الكتاب والسنة ولا نتعرض لتأويل بعد أن نعلم قطعا أن اللـه عز
وجل لا يشبه شيئا من المخلوقات وأن كل ما تمثل في الوهم فإنه خالقه مقدره.
Namun ternyata
ada sekelompok orang yang salah pengertian dan pemahaman terhadap
aqidah yang diperjuangkan oleh Imam Ahmad tsb. Orang-orang yang bodoh
dan tidak faham maksud Imam Ahmad dengan mengaku mengikuti thoriqoh beliau telah menebarkan keyakinan baru (yakni tajsim),
yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Imam Ahmad. Dan parahnya
lagi, generasi sesudahnya ikut-ikutan faham sesat kelompok tsb. Sehingga
mereka merusah aqidah umat. Apalagi orang-orang yang hanya memandang
hadits secara lahiriyah, tanpa melihat makna yang telah diterangkan oleh
salafus sholeh ahlil hadits, maka mereka dengn tanpa pengakuannya menetapi aqidah ahlul hadits telah meciptakan faham sesat tentang tajsim.
Kronologinya, manakala Imam Ahmad bin Hambal kosekwen dengan tegas mengikuti methode salaf yang tidak bersedia menta’wil ayat-ayat/ hadits mutasyabihat serta mentafwidkan pengertiannya pada Allah dengan tanpa beraqidah tasybih maupun ta’thil, beliau berfatwa:
« هذه الأحاديث تمرونها كما جاءت »
Artinya: “Bacalah
Hadits-hadits ini sebagaimana ia datang (dari Nabi Muhammad SAW, dengan
iman dan taslim tanpa mencari arti-artinya dengan rinci).
Maka,
fatwa beliau inilah yang salah dimengerti oleh kelompok sesat tersebut.
Karena dangkal pikirannya, mereka mengatakan bahwa Imam Ahmad
memerintahkan agar meyakini dzahi-Nya hadits-hadits mutasyabihat,
serta mengartikannya atau memperlakukannya sebagaimana arti yang
dikenal orang dalam masalah “kejisiman”. Sehingga mereka menyatakan
“ketasybihan” Allah SWT dengan makhluk. Jelasnya, mereka berkeyakinan
bahwa Tuhan mempunyai bentuk (Shurah), anggota tubuh, ruh, jisim,
bisa berpindah, naik, turun, menempati ruangan. Bahkan mereka
mengatakan bisa memegang atau bersalaman dengan-Nya, Tuhan berdarah
daging, mempunyai mata, telinga, kepala, mulut dan lain-lain.
Kelompok sesat ini terus merebak dan menyesatkan umat.21) Maka untuk menanggulanginya, tampillah para mutakallimin ahlissunnah yang bersedia menta’wil ayat-ayat/ hadits-hadits yang salah dimengerti oleh kaum Musyabbihah dan Mujassimah
ini. Penta’wilan adalah pertengahan antara Mu’tazilah dan Mu’ath-thilah
(yang ta’wilannya digunakan untuk menafikan ayat-ayat/ hadits sifat)
dengan mujassimah dan Musyabbihah (yang lahiriahnya ayat/ hadits mutasyabihah diartikan kejisiman/tasybih).
Namun pada akhir abad ketujuh muncul bid’ah baru yang dipelopori oleh Imam Ibnu Taimiyah. Dia mengatakan:
نؤمن في آيات الصفات وأحاديثها بحقائقها ونجريها على ظواهرها من غير تشبيه ولا تعطيل ولا تمثيل
Ini sebenarnya adalah suatu bentuk dari tajsim terselubung (dlimny). Sebab menurut ajaran ulama salaf tak ada kata-kata “ala dhowahiriha”. Yang ada hanyalah “bima tsabata”. Lantas apa yang dikehendaki oleh Imam Ibnu Taimiyah dari kata-kata “ala dhowahiriha” kalau tidak tajsim?. Maka, sebenarnya akhir pernyataannya yang berbunyi “min ghoiri tasybihin” dst, hanyalah untuk pantasan saja atau tambahan yang tak berarti.
Untuk itu, kita haruslah mengikuti ajran salafu ahlil hadits sebelum Ibnu Taimiyah sebagaimana keterangan yang telah lalu. Lihatlah permasalahan ini di syarah kitab “al-kawakibu al-Lama’ah” hal; 96-99, karangan Abu al-Fadlol as-Sanury.
Sedangkan sebagian tokoh mutakallimin ahlussunnah
adalah: Imam Abu Hasan al-Asy’ari (wafat; 324 H), Imam Abu Manshur
al-Maturidi (wafat; 333 H), Imam Abu Bakar al-Baqilani (wafat; 403 H),
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali (wafat; 505 H), Imam
al-Fahrurrozi (wafat; 606 H), Imam Sanusi, Imam Hifni, Imam al-Laqqani,
Imam Izzuddin bin Abdissalam (wafat; 660 H), Imam Zakaria al-Anshori,
Imam al-Bajuri (wafat; 1272 H), Imam an-Nawawi al-Bantani (wafat; 1315
H).
8) . lihat al-Lalka’iy; 151-154.
9) . Tahdzib; IV/ 350.
10) . Lihat al-Lalka’iy; 155-156.
11) . Ibid; 154-155.
12) . Tahdzib : VIII/ 394.
14) . Ibid; X/5.
15) . Ibid; X/437.
16) . Ibid; X/437.
17) . Ibid; III/353.
18) . al-Jarh wat Ta’dil; III/601.
19) . Tahdzib; VIII/358.
20) . al-Jarh wat Ta’dil; II/75.
Sumber : http://ahlussunah-wal-jamaah.blogspot.co.id/2011/06/tokoh-tokoh-ulama-ahlussunnah-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar